Catatan Seorang Abid; Talenta di Atas Segalanya - INSTITUT ATTAQWA KH. NOER ALIE
Search
Close this search box.

Catatan Seorang Abid; Talenta di Atas Segalanya

Tidak banyak tokoh yang menempatkan talenta di atas segalanya. Hanya sedikit orang seperti Abid yang menempatkan talenta di atas keluarga, golongan, hingga loyalis. Setidaknya itu yang saya catat selama beberapa tahun mengenal dan dekat dengannya. Saya menganggapnya sebagai orang tua. Biasa saya memanggilnya Pak Abid.

Di setiap diskusi kami tentang STAI Attaqwa, Pak Abid kerap berbicara tentang talenta atau sumber daya manusia (SDM) masyarakat Bekasi. Saya yakin bukan hanya saya yang diajak diskusi soal itu. Orang-orang terdekat dengannya pasti sering mendengar kata SDM dari mulut Pak Abid. Hampir setiap forum yang saya ikuti, Pak Abid selalu berbicara tentang SDM terutama di Bekasi atau Attaqwa. Selalu itu yang ia ulangi.

Bukan tanpa dasar. Talenta atau SDM ini menjadi concern Pak Abid. Ia merasa resah dengan kondisi masyarakat Bekasi yang minim talenta. Maka strategi yang ia lakukan adalah fokus terhadap pendidikan. Ia memosisikan diri sebagai pendidik. Baginya, pendidikan menjadikan manusia bertalenta. Pendidikan secara langsung mampu melahirkan SDM-SDM berkualitas sebagaimana yang ia impikan. Tepat sasaran.

Strategi tanpa eksekusi percuma saja. Pak Abid memulai eksekusinya dengan menjadikan STAI Attaqwa sebagai wadah menemukan talenta. Puluhan mahasiswa yang kurang mampu namun berprestasi, telah ia berikan beasiswa. Tak jarang, beasiswa itu keluar dari kantongnya sendiri.

Sampai kami beberapa kali bilang ke orang-orang, “Kalo pinter tapi nggak punya duit, ketemu Pak Abid aja nanti dibantu.”

Tidak hanya pikiran, tenaga, dan waktu. Harta juga ia berikan sebagai dedikasinya untuk pendidikan. Sosok yang langka. Mungkin akan butuh waktu lama muncul sosok serupa di sekitar kita.

Pak Abid juga manusia biasa. Sekali waktu saya mendapatinya bercerita soal kesulitan dalam proses perubahan bentuk STAI menjadi Institut. Proses yang panjang dan memakan energi besar. Bahkan ia bilang penuh air mata. Saya ingat sekali, hingga akhirnya di depan saya ia berkata kepada istrinya, “Ikhlas aja. Orang ikhlas nanti ada yang bantuin,” Mungkin itu jalan sunyi bagi seorang pendidik.

Bagi orang biasa, di tengah banyak kesulitan, lebih baik menyerah. Tapi, Pak Abid tetap ngotot mengubah bentuk STAI menjadi Institut. Baginya, sebagai wadah menemukan talenta, kampus menjadi lembaga penting sebagai laboratorium intelektual. Kampus harus diisi juga oleh orang-orang bertalenta. Perubahan bentuk kampus merupakan bagian dari concern dirinya tentang SDM bertalenta. Jadi harus ngotot.

Sangat disayangkan kita kehilangan sosok yang ngotot dan mementingkan talenta di atas segalanya. Pertemuan saya terakhir terjadi sehari sebelum Pak Abid wafat. Di hari itu, ia masih ngotot ingin membuat penelitian tentang Komunitas Muslim Indonesia di Hongkong. Pak Abid ingin kolaborasi penelitian antara STAI Attaqwa dengan UIN Jakarta. Saya mengiyakan kolaborasi itu. Rencananya dimulai Bulan Oktober. Namun takdir berkata lain.

Terakhir, kita semua tentu kehilangan tokoh penting di Bekasi. Harapan kita, patah satu tumbuh seribu. Mudah-mudahan tulisan ini bisa sedikit menumbuhkan sosok Abid yang lain. Amin.

Muhammad Fanshoby
Dosen STAI Attaqwa dan UIN Jakarta

Bagikan :

Facebook
Twitter
WhatsApp

PMB 2024